Malam itu seorang remaja duduk di teras rumah dinas ayahnya, menikmati
indahnya lampu perumahan yang berjejer di bukit arah pelabuhan Angin.
Pelabuhan terbesar di kota itu. Lampu kapal berkedip dari jauh menambah pesona
indah sang kota kecil. Kota itu bernama kota Gunungsitoli yang diresmikan pada
tahun 2008 silam. Remaja itu merenung di bawah langit gelap tanpa bintang dan
bulan, awan bergerak bebas dan begitu cepat, angin dari selatan sering menerpa
pipi remaja yang tampak galau. Gerimis juga masih belum reda, membasahi tugu Yaahowu
yang selalu menyapa orang dari seberang samudera. Suasana malam itu, mengingatkan
kisah hidupnya yang terjadi pada masa lalu, saat dia mengawali masa
SMAnya. Dia terharu dan seakan meneteskan air mata. Namun, kesedihannya
tidak berlangsung lama karena senyuman telah melapisi bibir merahnya. Dia
kelihatan gila ketika wajah teman-temannya terlintas di pikirannya, yang
memiliki seribu satu karakter, ada yang pendiam seperti patung hidup, ada yang
humoris, ada tukang tidur, ada yang suka teriak, ada yang hobi nyanyi, ada
gitaris, ada juga yang hobi futsal, basket, ahli IT dan lebih banyak di antara
mereka yang suka melahap soal-soal dan menghafal filosofi serta memanjangkan
atau memendekkan rumus-rumus sang jenius.
Namanya Denov, dia anak IPA di SMA Sukma Bangsa, salah satu
sekolah favorit di pulau yang dia cintai itu, dia sangat bangga bisa sekolah di
sana karena sekolah itu membuat hidupnya semakin berubah tak lain ke hal yang
lebih baik. Di sekolah itu dia benar-benar ditempa mulai dari melatih mental,
cara mengatur waktu dengan baik, dan terlebih dia dituntut belajar selama satu
hari di sekolah. Itulah terkadang dia merasa stress ketika tugas-tugasnya yang super wow menumpuk.
Tumpukan tugas sudah biasa terjadi padanya karena dia tidak bisa membagi waktu
dengan baik apalagi pada tahun pertama dia belum terbiasa belajar seperti itu,
dia lebih banyak menggunakan waktunya untuk main game seperti game smackdown dan playstation. Denov
juga lebih suka bermain dengan teman-temannya, apalagi dia dikenal seorang
siswa yang suka menjahili teman-temannya di kelas. Akibat
ulahnya itu, dia kadang dibenci bahkan berkelahi dengan teman-temannya walau setelah
itu mereka seperti air yang mengalir, rasa persahabatan dan kekompakkan mereka
tak pernah padam.
Di tahun pertama Denov memiliki seorang teman yang bernama Dela. Remaja
itu cantik, baik, pintar, senang bergaul dan penuh perhatian. Cowok atau cewek
di mata Dela tidak ada perbedaan. Sifat Dela itulah yang membuat cowok-cowok di
kelas banyak mengaguminya tak apalagi Denov.
***
Pada awal bulan September tahun tersebut, semua siswa kerja bakti, mereka
melaksanakan tugasnya masing-masing sesuai yang telah diperintahkan oleh ibu
guru. Setelah mereka bekerja selama tiga jam, seluruh siswa beristirahat. Denov
dan teman-temannya juga ikut beristirahat, memulihkan energi mereka yang telah
terkuras akibat sinar matahari pagi yang membakar kulit putih mereka. Mereka
beristirahat di pojok laboratorium untuk menghentikan keringat
yang terus mengalir di sekujur tubuh para pelajar itu.
“ Cie…….cieeeeeeeeeeeeeeee
!!!!!!” teriak teman-teman Denov. Denov terkejut dan bingung melihat
teman-temannya.
“ Ada apa woe…!! Dapat makanan
kita ya?” tanya Denov.
“ Waduh…jangan pura-pura gak
tahulah Den,” jawab Debil yang tak kalah sifat usilnya dengan Denov.
“ Iya Den, jangan pura-pura gak
taulah, sudah tahu kami semua rahasiamu,” tambah Frisno sambil menunjuk Denov.
“Lah,…rahasia apa woe…! Beritahu
ajalah. Ini aku makin bingung sama kalian,” kata Denov sambil terbata-bata.
“ Memang sudah tahu kami kok. Ha…ha…ha…ha…” jawab Wili sambil memukul
pundak Denov.
“ Kutamparin mukamu ya …! Baru tahu rasa…!” jawab Denov sambil mencoba
menyepak bokong si Wili. Wili pun mengela sambil tertawa.
“Coba lihat, Den. Apa ini?” tanya Debil sambil mengeluarkan benda kecil dari
saku celananya.
Denov makin bingung dan ingin merebut benda kecil itu di tangan Debil.
Namun, Debil licik akan hal itu. Dan kini Denov yakin kalau benda kecil itu
adalah hp standarnya yang menyimpan semua rahasia antara dia dengan sang
sahabat yang dikaguminya selama ini.
“ Itu hpku Deb!” kata Denov.
“Ha…ha…ha… emang punya siapa
lagi? Sudah tahu malah diberitahu, Ha…..ha…..ha….!” jawab Tian sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Ka ..kaliannnn….” Denov terbata-bata sambil mengejar si Debil.
Denov akhirnya bisa mengambil hp kecil yang menyimpan bunga-bunga cinta yang ingin dia tanam itu.
“Waduh…..Mati aku…..!” kata Denov sambil memukul keningngnya dengan muka
galau.
“ Jadi,.. ketahuan deh….” tambah
Denov sambil memeriksa hp simpelnya itu.
“Biasa ajalah bro, lagian kita-kita aja yang tahu kok, ha…ha…ha…” jawab
Tian sambil bersandar di dinding laboratorium tersebut.
“Iya, Den. Betul kata Tian. Perjuanganmu, perjuangan kita juga. Selamat
berjuang, Bro!” kata Debil sambil memukul pundak si Denov. Kali ini Debil
berkata serius.
“Yaelah mukamu Deb. Kalian gila, apa? Aku biasa aja. Gak ada perasaanku
samanya kok. Aku pengen dekat aja. Jangan terlalu lebay deh. Buat
malu saja sama kakak kelas,” jawab Denov yang ingin menyembunyikan perasaannya
kepada teman-teman dekatnya itu.
“Sudahlah, Den. Gak usah munaklah. Bilang saja…. Aku mendukungmu, Bro. Kalau
misalnya kamu gak maju, biar aku saja yang maju. Klo masalah cinta, aku
masternya, Bro! Susahnya apa? Pakai aja jurus kupayakum. Pasti
dapat itu cewek. Ha…ha…ha…” kata Leo blak-blakan, salah seorang dari
temannya yang bercita-cita jadi komedian.
“Yaelah mukamu, macam bisa saja, jagain anak kecil saja gak mampu, apalagi ganggu cewek. Ha. . .
ha. . . ha….”jawab Debil sambil menutup mukanya.
“Maksudmu apa, Deb?” balas Leo.
“Sudahlah, Le. Klo masalahmu gak
usah dibahas lagi deh,” jawab Wili sambil mengambil parangnya yang telah jatuh.
“Teman-teman gimana kalau kita balik ke kelas saja?” tambah Wili.
“Betul, Bro. Lets go…!” jawab
Debil dengan semangat.
Pelajar kompak itu pun bergerak menuju kelas sambil membawa peralatan
gotong royong. Mereka ibarat sebuah suku dari pedalaman yang ingin memerangi
musuh-musuh mereka. Namun, tebar senyum, tawa dan canda menghiasi perjalanan
mereka saat itu. Namun, ada satu dari mereka tidak merasakan hal yang sama. Namanya
Denov. Dia masih tinggal duduk di anak tangga laboratorium itu sambil merenungkan perasaannya
yang telah terpendam. Aroma dari rumput yang mulai kering menusuk hidungnya
menemani rasa galaunya siang itu.
“Oh…Tidak! Mengapa aku harus memikirkannya. Kan… gak ada hubungan apa-apa. Tapi… jangan-jangan? Oh… tidak-tidak
jangan sampai kepikiran gitu Denov. Ingat..! Kamu berada di tengah-tengah orang
intelek. Cita-citamu Den. Itu yang penting,” kata Denov dalam hati walau
bibirnya terkadang bergerak.
***
Denov adalah salah satu pelajar yang kreatif dan anak yang menguasai IT,
tiada Denov tanpa di temani sebuah laptop. Suatu malam, Denov sengaja sendiri
di kamar. Di kamar yang kurang beres menurut pandangan seorang cewek. Semua
barang pada berantakan, buku-buku pelajaran berserakan dimana-mana, kain banyak
bergantungan, juga di sudut kamarnya ada sebuah bola basket yang telah masuk
keranjang sampah, kain sprei pada terbuka dan terlipat. Namun, Denov tidak
mempedulikan itu. Dia berbaring telungkup di ranjang yang pas dengan panjangnya
itu. Bagi Denov kerapian itu tidak penting, yang paling penting adalah dia
ingin memulihkan tenaga yang telah habis di sekolah selama satu
hari. Malam itu dia mulai membuka laptop kesangannya, dia kangen dengan
teman-temannya walaupun hanya berpisah beberapa jam saja. Dia mulai melihat
foto teman-temannya, kebetulan foto yang tampil pertama adalah foto Dela
bersama dengan dua sahabatnya yang lain. Saat itu mereka berpose
dengan ala peace sambil tersenyum yang cukup menawan.
“Stop…op..op..op.. Ini dia.”
Denov berkata dalam hati.
“Senyum Dela ternyata manis juga ya, jangan-jangan benar ada
perasaanku ke dia ya? Oh… Tidak! Jangan sampai, Tuhan! Dia temanku sendiri, aku
takut kehilangan dia sebagai teman dekat, aku ingin menjadi sahabat terbaiknya,
aku takut kehilangan cita-citaku untuk membangun kota kecil ini,” kali ini
Denov berkata lebih keras sambil melemparkan bola basket kesangannya di dinding
kamarnya yang bercat putih polos itu.
“Poouuuuummmmmmm,” begitulah
suara bola basket itu terdengar kepada ayahnya Denov.
“Den, … Apa itu, Den?” teriak sang ayah dari ruang makan.
“Gak, Pak. Tikus kelewatan.” jawab Denov yang ingin mencandai ayahnya.
“Uhm, hati-hati ya, asal bukan kamu saja yang kelewatan!” jawab ayahnya.
“Gak kok, Pak. Denov serius, ada tikus yang lewat.” tambah Denov.
“Iya, iya. Bapak mengerti.” jawab sang ayah.
“Memang benar Pak, Denov lagi bohong sama Bapak. Ha..ha..ha..” kata Denov
sambil tertawa terbahak-bahak mencandai sang ayah. Kali ini Denov keluar dari
kamar.
“Pak, kok rumah ini asri sekali ya, Pak?” tanya Denov.
“Asri? Loh… kamu beda sekali
malam ini ya? Kamu lebih ceria, suka bercerita dan selalu tersenyum. Kamu
memang benar-benar anak Bapak. Inilah dampaknya kalau kamu masuk SMA unggulan.
Bapak hebat kan!” jawab sang ayah dengan ala sombongnya kepada Denov karena
beliaulah yang memaksa Denov masuk sekolah unggulan tersebut.
“Pak, Bapak belum menjawab pertanyaan Denov, Pak?” kata Denov dengan manja.
“Oh, iya Bapak hampir lupa. Ha..ha..ha.. Yah… Ialah Den. Bapak kan lulusan
teknik sipil dari Fakultas Teknik dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung
(ITB). Itu sampai S2 loh Bapak kuliah di sana. Itu pun dengan
hasil yang memuaskan. Kemudian, Bapak mengambil program doktoral
pada umur 40 tahun di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan. Bapak sengaja
masuk di sana, karena Bapak kasihan sama kamu yang masih kecil pada saat itu.
“Pak, tunggu. Sekarang umur Bapak berapa?” tanya Denov memotong pembicaraan
ayahnya.
“Oh…Bapak sudah 49, bulan Agustus tahun depan genap 50” jelas
sang ayah.
“Terus… mama kok kelihatan lebih muda dibanding bapak?
“Jelas dong…Den, selisih umur Bapak dengan mama kamu itu 10 tahun. Kami
menikah tahun 1990. Umur Bapak saat itu 28 tahun dan mama kamu itu baru 18
tahun. Kemudian, kami menunggu kamu selama 5 tahun. Makanya nama kamu Denov
Deleor, karena kamu lahir pada tanggal 18 November 1995. Nah, sejak itu Bapak
melarang mama kamu itu hamil sampai sekarang. Oh, ya. Nama kamu juga bisa
disingkat DD, ha..ha..ha.. dasar anak manja, anak satu-satunya Bapak
he..he..he, setelah kamu berumur 7 tahun kira-kira masuk SD, klo gak salah itu
tahun 2002 Bapak lulus seleksi di USU. Jangan salah kira universitas itu
merupakan universitas negeri terbesar di daratan Sumatera. Bapak bangga bisa
masuk di universitas-universitas besar seperti itu.” cerita sang ayah dengan
semangat.
“Waduh… Bapak! Hubungannya dengan pertanyaanku? Bapak ngawur! Denov bingung
deh.”jawab Denov.
“Loh, kamu kurang cakap memahami
cerita Bapak gitu?”
“Maksud Denov, bukan asri itu, Pak. Tapi perasaan Denov, Pak. Tapi makasih
ya, Pak atas infonya. Memang Bapak hebat deh”
jawab Denov sambil berlari ke kamarnya.
“Maksud kamu? Den….! Waduh cerita saya ini masih belum selesai !” ayah
berkata sendiri sambil memukul keningnya yang mengerut.
Malam mulai sepi, bel jam antik berbunyi sebanyak delapan kali, pertanda saat
itu menunjukkan jam 8 malam. Denov pun mengambil telepon genggamnya dan
langsung mencari kontak yang bernama Dela. Akhirnya dia menemukan kontak itu.
Karena mereka telah bertukar nomor telepon pada saat tes kesamaptaan pada bulan
Mei yang lalu.
“Hallo,” jawab Dela dengan suara yang lembut.
“Ia, Hallo. Selamat malam, Dell.. lahh.” balas Denov yang diselimuti rasa
gugup yang luar biasa.
“Waduh mati gua,..sorry
kecoplosan!” Denov berkata dalam hati dan saking gugupnya sebagian suaranya hampir
terdengar. Dia menghadap dinding, menggarut rambutnya yang tinggal satu sisir,
sedangkan tangan yang lain tetap memegang hp di kuping kiri.
“Ia, Den. Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Dela dengan suara yang
kecil, halus dan lembut.
“Oh,..Tidak cuma nanya kabar saja. Kamu lagi apa?” sahut Denov.
“Kabar Dela baik. Dela sekarang lagi belajar. Kamu sendiri lagi apa?
“Gak tau. Selamat belajar ya!” jawab Denov langsung memutuskan sambungan
telepon tersebut.
“Huhuuyyyyy! Yes...!” teriak Denov sambil mengekspresikan
gayanya di depan cermin lemarinya.
“Ya, Tuhan! Tugas fisikaku, belum siap! Cinta…cinta…. mati aku le cinta.”
kata Denov tersadar dalam kegugupannya.
Keesokan harinya, para pelajar yang berasal dari berbagai pelosok kembali
bersekolah. Pagi itu, semua warga sekolah menerapkan 3S (senyum, sapa dan salam).
Semua guru dan siswa sangat akrab di sekolah tersebut.
“Weh,… Abang kita datang!” sambut Wili dengan akrab ketika dia melihat
Denov memasuki kelas dengan membawa tas yang penuh dengan buku-buku.
“Oh..iya. Ngomong-ngomong, gimana
misimu, Den. Berhasil ya?” tanya Debil dengan menebar senyum.
“Yaelah, baru tahap PDKT, sudah
nanya yang nggak-nggak. Cepat amat, Bang. Sabar, santai, lagian perasaan kami
berdua biasa-biasa aja, tidak ada nilai lebihnya. Ha…ha..ha…Oh ya, bagaimana
klo sekarang kita duduk di kursi masing-masing mempersiapkan diri, mental dan
segala buku-buku yang berhubungan dengan kegiatan hari ini,” saran Denov.
“Setuju itu, Bro,” jawab teman-teman Denov secara serentak.
***
Dua minggu berikutnya, tepatnya tanggal 16 September tahun tersebut Denov
menerima SMS dari Dela.
Tersenyumlah selagi kamu bisa
Bicaralah selagi aku masih disini
Dan biarlah semua berjalan
Selagi kita masih bersama J
Sore itu, Denov sangat terkejut. Dia hanya mampu tersenyum dan ingin merangkai
kata untuk membalas SMS tersebut.
Sesosok orang, di tempat yang tak begitu tinggi.
Memperhatikan sebercak harapan, di dalam diri wanita yang tak bisa dia
lihat
Bagaimana bercak hati untuk dia
Hidup ini di jalani dengan hati yang tulus, penuh keceriaan bukan paksaan J
Sejak saat itu perasaan Denov mulai tidak tenang ibarat bom atom yang jatuh
pada lubuk hati yang paling dalam, jantungnya berdetak, terus berdetak kuat dan
tidak stabil, tidak terarah.
“Ya, Tuhan. Inikah namanya cinta?” tanya Denov pada dirinya sendiri.
“Oh, my God. Besok ulangan matematika. Sekarang sudah jam 9
malam, masih belum mandi lagi. Kapan saya belajar? Mau jawab apa besok?” Denov
tersadar dari lamunan cinta yang telah bersatu dalam aliran darahnya. Setelah
itu, dengan segera dia mengambil handuk coklatnya dan berlari ke kamar mandi.
Keesokan harinya, Denov dan teman-temannya kembali bersekolah seperti
biasa. Kebetulan hari itu hujan deras, bapak dan ibu guru terlambat masuk. Hari
itulah kesempatan terbaik buat Denov untuk ngomong secara langsung kepada Dela.
“Selamat pagi, Dela,” kata Denov sambil mengangkat kursinya di antara kerumunan
teman-temannya yang telah basah kuyup dan duduk di samping Dela dengan penuh
kepercayaan diri tanpa ada kegugupan sama sekali.
“Iya,”jawab Dela singkat.
“La, kok kurang semangat hari
ini? Kamu punya masalah ya?” tanya Denov dengan bersikap dewasa.
“Tidak… Aku cuma pengen diam saja,”
jawab Dela dengan cuek.
“Benar?” tanya Denov
“Ya,”jawab Dela singkat.
Mungkin momen itu bukan keberuntungan buat Denov. Dela sangat cuek. Denov
semakin penasaran dan susah menebak hati seorang remaja cantik itu.
“Perasaan….sebelum ada perasaan ini kami begitu dekat. Kami sering-sering
curhat, sampai di situ kami dapat menerima antara yang satu dengan yang lain
walau hanya sebatas teman. Tapi, setelah perasaan ini muncul, mengapa dia
bersikap seperti itu? Dia sangat cuek, Tuhan. Mengapa Engkau munculkan perasaan
ini jika akhirnya sakit?” tanya Denov dalam hati.
Denov ingin berjuang dan sekarang ia merangkai kata-kata dan ingin
mengiriminya kepada Dela.
Sesungguhnya aku khawatir ketika kamu mengatakan
“ aku pengen diam”
Tapi aku senang kamu bisa tersenyum seperti hari ini J
SMS tersebut tak ada satu pun yang mempedulikan. Inilah yang membuat
Denov semakin penasaran. Apalagi selama ini Denov mendengar bahwa ada cowok
lain (dari kelas lain sih) yang mulai
dekat-dekat ke Dela. Itulah yang membuat hati Denov siang itu hancur seperti
butiran debu.
“Ketika muncul perasaan itu, tantangan pun datang,” Denov berkata sambil
meninju tiang ring basket tempat dia latihan.
***
Tiga hari kemudian, Denov mencoba memberanikan diri untuk bisa ngomong
kepada Dela.
“Dell lah…Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Aku punya salah besar sama
kamu, ku harap kamu bisa memaafkanku.” kata Denov dengan suara yang
lembut dan tanpa basa-basi.
“He! Emang apa salahmu? Kalaupun kucuekin kamu, sebenarnya bukan karena ada
salahmu, karena emang kayak gitu aku.” jawab Dela.
“Nggak… nggak begitu sifatmu sesungguhnya, La.” bantah Denov dengan bijak.
“Begitu ya? Sudah banyak yang negur aku seperti itu.”jelas Dela.
“Iyah, La. Entah mengapa sikapmu berubah akhir-akhir ini. Apakah kamu punya
masalah?” tanya Denov dengan sebaik-baiknya.
“ Tidak.” jawab Dela singkat.
“Jadi, mengapa kamu bisa seperti ini? tanya Denov serius.
“Tidak selamanya orang seperti itu. Lagian aku tetap ceria kok.” jawab Dela
dengan menebar senyum manisnya.
“Ia, saya mengerti. Tapi ada sedikit perbedaan yang kurasakan, La.” balas
Denov.
“Ouh, ha..ha..ha...Santailah.” Dela tertawa mencairkan suasana.
“Ini aku lagi serius, La. Jujur nggak
senang-senang perasaanku tentang kamu, La.”kata Denov baik-baik.
Tiba-tiba seorang temannya Denov memperingati bahwa guru mau
masuk di kelas mereka. Gemuruh kursi dan kaki manusia yang ada di kelas itu
berusaha mengejar tempat mereka masing-masing, sekejab mereka bagaikan patung
yang sangat susah bergerak di dalam keheningan, nyanyian dan siulan
burung yang menyapa pagi jelas terdengar.
***
Bumi tak pernah dihentikan, hari demi hari Denov selalu perhatian kepada
Dela, walaupun Dela terkadang cuek terhadap Denov. Namun, itulah yang membuat
Denov semakin kuat untuk merebut hati sang bidadari cantik itu. Tepat Jumat 18
November 2011. Denov berulang tahun yang ke-16. Denov sangat bahagia dan ingin
membagi kebahagiaannya itu kepada Dela.
“Hi, Dela, tahu gak, hari apa hari ini?” tanya Denov dengan muka
berseri-seri.
“Kamu ngomong samaku?
“Hum”
“Ya, tentu tahu dong, kamu kira Dela pikun, apa? Hari Jumat tau!” jawab
Dela dengan manja dan penuh percaya diri.
“Waduh, ..yang lebih spesial?”
“Nggak ada, kayaknya biasa saja. Nggak ada yang spesial,”jawab Dela
dengan wajah murung.
“Saya ulang tahun hari ini, La.”jelas Denov.
“Hah…kamu ulang tahun hari ini ya? Maaf ya, saya benar-benar nggak tahu,” jelas Dela dengan merasa
sangat menyesal.
“Nggak apa-apa kok, La. Maklum
kok.” jelas Denov.
“Iya, tapi saya merasa bersalah, Den. Masa hari ulang tahun cowok seperti
kamu ini Dela gak ingat. Selamat ulang tahun ya, Den!” ucap Dela sambil mencolek
pipi Denov.
“Waduh,…ha..ha..ha..makasih banyak, La. Boleh ngomongin sesuatu?” harap Denov.
“Boleh, gimana kalau ke kantin saja.”dukung Dela.
Kedua remaja itu pergi ke kantin.
“La, kamu cantik hari ini. Kamu manis sekali di saat kamu tersenyum,” kata
Denov mengawali pembicaraan.
“Hari ini aja ya? Ha..ha..hah. Iyah, makasih ya. Kamu juga baik.
Ha..ha..ha...” balas Dela.
“Kamu tahu nggak, La. Kamu adalah
seorang cewek yang paling cantik, pintar, baik yang pernah ku temukan.” kata
Denov dengan bijak.
“Iyalah, kuhargai pendapatmu,” jawab Dela
“Maksud kamu? Aku serius, La. Sekarang, bagiku menghafal teori, rumus
matematika, kimia, fisika atau lainnya itu, aku tak mampu. Aku selalu
mengingatmu setiap waktu, aku gak bisa melawan matamu, La”
“Iyah, saya mengerti”
“La, dengar. Sebenarnya selama ini saya mengkhawatirkan keadaanmu. Itu
makanya aku terkadang bersikap aneh sama kamu. Aku merasa bahwa perasaanku ke
kamu itu lebih sekedar teman dekat. Tapi, maaf aku lama memendamnya,
aku gak berani, aku ragu dan takut kehilangan
kamu sebagai teman dekat. Aku sayang kamu, La. Aku sangat menyayangimu. Walau
matamu kuat, tapi aku mencintaimu, La.” jelas Denov yang sangat berharap Dela
bisa menerimanya.
Dela pun menarik napas dalam-dalam, dan keheningan menyelimuti mereka.
Denov meraih tangan Dela yang putih mulus itu. Dela pun menangis.
“La, ngomong, La. Apa kamu sayang samaku, La? tanya Denov dengan tetesan
air mata jatuh ke lantai kantin sederhana itu.
“Den, sebenarnya perasaanku ke kamu itu, hanya sebatas teman dekat, aku
juga merasa takut kehilangan kamu. Tapi takut kehilangan sebagai teman dekat.
Dan kurasa tidak lebih dari pada itu, Den." jawab Dela singkat.
"Tapi, La?"
"Tidak, Den. Ku harap jangan pernah suka kamu samaku, karena kamu
terlalu baik selama ini samaku. Jadi, kita cukup sahabatan aja."
"Kok gitu, La?"
"Entah lah.....tapi kurasa pasti ada yang terbaik buat kamu, Den. Yang
lebih baik dari aku. Pasti...! Yakini itu!" Dela menguatkan hati Denov.
"Apa?"
"Iya, Den. Pasti ada yang terbaik buat kamu...."
"Oh...................Tidaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk
!!!!!!!!!" teriak Denov.
"Den, kok gitu?" tanya Dela dengan lembut.
"Jadi, maksud kamu. Kita cukup sahabatan?"
"Ia...." jawab Dela.
“Selamanya?”
“Ia...!” tegas Dela.
Tidak bisa dijelaskan.
Tak ada kata yang keluar. Semuanya berantakan, cuma kaki yang ingin melangkah. Denov pun pergi dari kantin sederhana itu.
Cerpen Ini Ditulis Oleh :
Ordeli Zalukhu